Tuesday, May 24, 2011

Institusi Administrasi


BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar belakang
Setiap instansi baik instansi pemerintah, politik  maupun swasta memiliki dokumen-dokumen penting yang harus tetap disimpan dan dijaga dengan baik, karena berkaitan langsung dengan jalannya instansi tersebut, baik dalam hal kinerja secara internal maupun secara eksternal. Dokumen-dokumen tersebut juga sering dinamakan dengan istilah arsip atau file.
HINGGAR-bingarnya dunia politik nasional saat ini tidak terlepas dari sistem multipartai yang telah dipilih. Kemajemukan dalam hal aktor, isu, dan pemikiran politik, yang sangat menonjol menunjukan berhasilnya sistem tersebut dalam merangsang partisipasi dan mobilisasi politik masyarakat.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, betulkah Indonesia saat ini ada pada jalur yang benar dalam konteks pembangunan politik ? Apakah hiruk-pikuk politik yang sering diistilahkan sebagai eforia politik ini adalah fase yang harus dilewati dalam proses pembangunan politik?

B.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah apa itu institusi politik dan pemerintahan dan masalah masalah yang timbul.
       
C.    TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana institusi politik dan pemerintah







BAB II
PEMBAHASAN


Institusi atau lembaga adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Norma atau aturan dalam pranata berbentuk tertulis (undang-undang dasar, undang-undang yang berlaku, sanksi sesuai hukum resmi yang berlaku) dan tidak tertulis (hukum adat, kebiasaan yang berlaku, sanksinya ialah sanksi sosial/moral (misalkan dikucilkan)). Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur.

A.      Institusi politik
Istilah institusi berasal daripada perkataan Latin, instituere yang membawa maksud sesuatu yang diwujudkan atau ditubuhkan. Ini bermaksud bahwa institusi adalah satu corak kegiatan atau aktiviti manusia yang wujud dan berterusan. Istilah ini begitu popular di kalangan sarjana sains politik, kerana institusi menjadi pusat kepada segala tindak tanduk manusia. Fahaman mengenai institusi dipelopori oleh ahli sosiologi. Walau bagaimanapun istilah ini diubahsuai dan digunakan oleh ahli sains politik untuk menjelaskan kegiatan politik.
Institusi politik wujud daripada proses-proses sosial terutamanya yang coba mengatur susunan masyarakat. Sekaligus ini menggambarkan bahawa kepentingan kumpulan-kumpulan manusia tertentu senantiasa dijaga dan dipertahankan oleh mereka melalui proses penyertaan dan penglibatan politik. Institusi politik bukan saja mencorakkan tingkahlaku pemegang kuasa tetapi ia juga mempengaruhi bagaimana organisasi sosial dapat berinteraksi serta dapat bertindak mempertahankan kepentingan mereka.
Dalam sesuatu sistem pemerintahan terdapat tiga institusi politik yang utama iaitu Badan Legislatif, Badan Eksekutif dan Badan Kehakiman. Walau bagaimanapun kita tidak boleh menafikan kewujudan institusi politik lain yang juga memainkan peranan dalam perjalanan pemerintahan di sebuah negara. Antaranya ialah parti politik, birokrasi, kumpulan pendesak, kumpulan bersekepentingan dan lain-lainnnya.

1.      Masalah-masalah institusi Politik
Sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi yang membawa berbagai konsekuensi yang tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik nasional, melainkan juga terhadap dinamika sistem-sistem lain yang menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Pembangunan sistem politik yang demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia dan makin mempererat persatuan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keberhasilan pembangunan politik yang demokratis tidak hanya dipengaruhi oleh situasi yang berkembang di dalam negeri, tetapi dapat pula dipengaruhi oleh konstelasi politik internasional dewasa ini. Di samping itu, keberhasilan pembangunan sistem politik yang demokratis perlu didukung pula oleh penyelenggara negara yang profesional dan terbebas dari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta dapat memanfaatkan secara optimal berbagai bentuk media massa dan penyiaran serta berbagai jaringan informasi di dalam dan di luar negeri.
Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Indonesia saat ini di bidang politik dalam negeri adalah adanya ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif); belum akomodatifnya konstitusi (UUD 1945) dan perundang-undangan yang ada terhadap dinamika perubahan masyarakat; rentannya konflik, baik vertikal maupun horizontal; menguatnya gejala disintegrasi bangsa yang sering kali mencari pembenaran dan dukungan dari pihak luar negeri tertentu; serta merebaknya berbagai tindak kekerasan dan aksi massa yang sering kali memaksakan kehendak. Selain itu, permasalahan lain yang muncul sebagai akibat dari warisan sistem politik pada masa lalu adalah ketidaknetralan serta keberpihakan pegawai negeri sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terhadap kepentingan penguasa; lemahnya pengawasan terhadap kinerja penyelenggara negara, sehingga menjadi penyebab meluasnya tindakan KKN; belum terlaksananya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance); lemahnya kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara, dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia; serta belum memadainya sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan.
Berkenaan dengan hubungan dan politik luar negeri, permasalahan pokok yang dihadapi adalah kekurangsiapan Indonesia dalam mengantisipasi berbagai ekses globalisasi politik dan ekonomi; dan lemahnya posisi tawar Indonesia dalam percaturan internasional. Di samping itu, Indonesia belum mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal guna memperkuat daya saing dalam menghadapi tantangan global serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesadaran politik rakyat.
Selain itu masalah mobilisasi dan partisipasi politik sesungguhnya telah disoroti pemikir politik Samuel Huntington sekitar 35 tahun lalu. Saat itu ia mengamati beberapa negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang di bawah payung modernisasi menggulirkan dengan cepat proses mobilisasi dan partisipasi politik masyarakat. Dalam paradigma modernisasi, sistem politik yang modern dikarakterisasikan dengan mobilisasi sosial (Deutch 1961) dan partisipasi (Lerner 1961), (Rustow 1962).
Hal inilah yang pada dasarnya diyakini membedakan masyarakat tradisional dengan modern. Ketika jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan politik semakin banyak, orang-orang yang tadinya hanyalah sebagai penonton kegiatan politik, kemudian berbondong-bondong untuk masuk ke dalam sistem politik (Almond & Verba (1963). Singkatnya, mendorong mobilisasi dan partisipasi politik dimaknai sebagai suatu prasyarat bagi pembangunan politik.
Dengan merujuk pemikiran de Tocquiville, Huntington kemudian menyatakan bahwa proses tersebut mungkin tidak berada dalam konteks pembangunan politik, tetapi bahkan dapat pula mengarahkan kepada suatu kondisi yang sama sekali berbeda, yaitu apa yang ia sebut dengan pembusukan politik (political decay).
Situasi ini akan terjadi jika tingkat partisipasi dan mobilisasi politik yang tinggi, tidak dapat diimbangi dengan institusionalisasi politik, suatu proses untuk mengatur dan menata aktivitas-aktivitas tersebut dalam wadah dan instrumen yang tepat, atau yang disebut de Tocqueville dengan the art of associating together. Mobilisasi dan partisipasi politik yang tinggi dan tidak disertai dengan pengorganisasian dan institusionalisasi bukanlah merupakan prakondisi yang tepat bagi terciptanya masyarakat madani, melainkan kondusif bagi skenario-skenario kekacauan yang kontraproduktif bagi proses demokratisasi.
Sejarah mencatat fenomena di Amerika Latin di mana terjadi “musim erosi demokrasi” yang menghancurkan musim semi demokrasi ketika di tengah-tengah eforia politik rezim militer-otoritarian kembali melakukan konsolidasi dan tampil menghancurkan kekuatan pro-demokrasi. Instabilitas kemudian lebih menonjol ketimbang stabilitas karena kudeta dan pemberontakan yang menjadi rutin terjadi. Konflik vertikal dan horizontal yang juga sering terjadi, kemudian mengganggu proses nation building yang sebetulnya belum benar-benar tuntas. Dalam kondisi seperti ini jelas kita tidak dapat memberikan predikat masyarakat modern yang demokratis, karena ketidakmampuan sistem politik beserta unit-unitnya untuk berfungsi dengan efektif.
Bagaimana menjelaskan fenomena pembusukan politik tersebut? Asumsi utama yang muncul adalah bahwa pada negara-negara berkembang, agenda para politisi, dan bahkan para ilmuwan politik dalam hal pembangunan politik cenderung lebih terarah pada aspek mobilisasi dan partisipasi politik ketimbang proses institusionalisasinya. Bahkan para LSM internasional pun dalam program pendidikan politiknya di negara berkembang masih menekankan pada penguatan partisipasi politik masyarakat daripada konsultasi pada pengembangan organisasi beserta perangkatnya (institutional building).
Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun tidak terlepas dari asumsi ini. Sebagai mantan aktivis LSM, pejuang prodemokrasi dan pengusung pluralisme, Gus Dur dianggap sukses menumbuhkan iklim demokratis dan menggulirkan berbagai wacana yang kondusif bagi pengembangan demokrasi. Sementara di sisi lain ia kedodoran untuk melakukan penataan institusi, sehingga kemudian menuai berbagai masalah yang justru mengguncang stabilitas politik, akibat kian rendahnya legitimasi masarakat terhadap pemerintah. Kondisi seperti ini digambarkan oleh Paige (1971) sebagai tipe partisipasi politik yang militan-radikal, yaitu apabila kesadaran politik yang tinggi tidak disertai kepercayaan kepada pemerintah.
Kondisi militan-radikal inilah yang membuka ruang bagi skenario pembusukan politik menurut Huntington. Karenanya, proses institusionalisasi politik, mau tidak mau haruslah mendapat prioritas utama. Walaupun demikian tidaklah tepat jika tugas tersebut dibebankan seluruhnya kepada Gus Dur seorang. Proses institusionalisasi politik ini menuntut keterlibatan total dari seluruh elemen, baik pada lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 arah kebijakan pembangunan politik adalah:
a.     Politik Dalam Negeri
1.     Memperkuat keberadaan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertumpu pada ke-bhinekatunggalika-an. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mendesak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perlu upaya rekonsiliasi nasional yang diatur dengan undang-undang.
2.     Menyempurnakan Undang-Undang Dasar 1945 sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi, dengan tetap memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, serta sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
3.     Meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
4.     Mengembangkan sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis dan terbuka, mengembangkan kehidupan kepartaian yang menghormati keberagaman aspirasi politik, serta mengembangkan sistem dan penyelenggaraan pemilu yang demokratis dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang politik.
5.     Meningkatkan kemandirian partai politik terutama dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat serta mengembangkan fungsi pengawasan secara efektif terhadap kinerja lembaga-lembaga negara dan meningkatkan efektivitas, fungsi dan partisipasi organisasi kemasyarakatan, kelompok profesi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam kehidupan bernegara.
6.     Meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keberagaman aspirasi, dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
7.     Memasyarakatkan dan menerapkan prinsip persamaan dan anti-diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
8.     Menyelenggarakan pemilihan umum secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan beradab yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara independen dan non-partisan selambat-lambatnya pada tahun 2004.
9.     Membangun bangsa dan watak bangsa (nation and character building) menuju bangsa dan masyarakat Indonesia yang maju, bersatu, rukun, damai, demokratis, dinamis, toleran, sejahtera, adil dan makmur.
10.  Menindaklanjuti paradigma baru Tentara Nasional Indonesia dengan menegaskan secara konsisten reposisi dan redefinisi Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara dengan mengoreksi peran politik Tentara Nasional Indonesia dalam kehidupan bernegara. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam merumuskan kebijaksanaan nasional dilakukan melalui lembaga tertinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat.


b.     Hubungan Luar Negeri
1.    Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama internasional bagi kesejahteraan rakyat.
2.    Dalam melakukan perjanjian dan kerja sama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.
3.    Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional.
4.    Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerja sama ekonomi regional maupun internasional dalam rangka stabilitas, kerja sama, dan pembangunan kawasan.
5.    Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakuan AFTA, APEC, dan WTO.
6.    Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat serta memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagi penyelesaian perkara pidana.
7.    Meningkatkan kerja sama dalam segala bidang dengan negara tetangga yang berbatasan langsung dan kerja sama kawasan ASEAN untuk memelihara stabilitas, pembangunan, dan kesejahteraan.




c.    Komunikasi, Informasi, dan Media Massa
1.    Meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa modern dan media tradisional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; memperkukuh persatuan dan kesatuan; membentuk kepribadian bangsa, serta mengupayakan keamanan hak pengguna sarana dan prasarana informasi dan komunikasi.
2.    Meningkatkan kualitas komunikasi di berbagai bidang melalui penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi guna memperkuat daya saing bangsa dalam menghadapi tantangan global.
3.    Meningkatkan peran pers yang bebas sejalan dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan insan pers agar profesional, berintegritas, dan menjunjung tinggi etika pers, supremasi hukum, serta hak asasi manusia.
4.    Pembangun jaringan informasi dan komunikasi antara pusat dan daerah serta antardaerah secara timbal balik dalam rangka mendukung pembangunan nasional serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
5.    Memperkuat kelembagaan, sumber daya manusia, sarana dan prasarana penerangan khususnya di luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional di forum internasional.

2.      Strategi institusionalisasi
Berdasarkan hipotesa, mengenai hubungan antara partisipasi politik dan tingkat institusionalisasi politik di atas, Huntington menawarkan dua metode untuk mendorng institusionalisasi politik (Huntington, 1965).
Pertama adalah dengan mengurangi mobilisasi sosial atau partisipasi politik dan kedua dengan memfokuskan langsung kepada masalah-masalah pengembangan institusi (institution building).
Pada metode pertama, mengurangi partisipasi politik dan mobilisasi sosial dapat dilakukan dengan cara meminimalisasi kompetisi antara para elite politik. Perilaku dan manuver para individu yang mempunyai posisi yang strategis dalam partai atau parlemen sangat berpengaruh pada derajat institusionalisasi politik. Pada negara-negara berkembang, kompetisi dan konflik antar-elite dapat dengan mudah bertransformasi menjadi konflik masa, karena ikatan tradisional-emosional yang ada antara elite dan masa.
Konflik antar-elite yang secara otomatis kerap kali menghantarkan pada mobilisasi massa juga dapat berarti mobilisasi tradisi. Artinya pengerahan konstituen tradisional dengan segala macam unsurnya yang berakibat masuknya berbagai perspektif dan keyakinan tradisional ke dalam sistem politik. Hal ini sedikit banyak akan berpengaruh pada upaya pembangunan sistem politik yang modern. Runyamnya konstelasi politik nasional saat ini antara lain juga karena hal tersebut.
Pembagian kekuasaan politik antara eksekutif dan legislatif yang sebetulnya sangat wajar dalam politik modern, kemudian mempunyai arti lain ketika bertransformasi menjadi konflik tradisional karena masuknya sentimen tradisional ke dalam pertentangan elite politik. Kemauan elite politik Indonesia, terutama yang memiliki konstituen tradisional untuk berhati-hati dalam menyikapi masalah dan melontarkan pernyataan dengan demikian akan memberikan kontribusi bagi pengurangan mobilisasi dan partisipasi masa yang negatif.
Kedua adalah pengembangan institusi. Saat ini sebetulnya Indonesia tengah memulai kembali penataan institusi ini nyaris dari titik nol karenai institusi politik semasa rezim otoriter tidak berfungsi secara normal dan secara sistematis dilemahkan oleh penguasa. Supremasi partai politik sebagai sumber legitimasi dan otoritas rakyat harus kembali ditegakkan. Dalam hal ini peran para tokoh karismatik sebagai jembatan antara tradisionalitas dan modernitas sangat signifikan. Tokoh kharismatis seharusnya dapat menjadi institutional builder atau pendorong dari pembangunan institusi politik.
Personal power atau kekuasaan dan pengaruh yang melekat dari para tokoh ini harus ditransformasikan menjadi kekuatan institusi. Contoh sukses tokoh pembaharu Turki, Kemal Ataturk dapat menjadi role model bagi para tokoh dan elite politik Indonesia. Ataturk selama dua dekade sukses mengelola kekuatan dan kharisma yang dimilikinya untuk mendorong proses reformasi dan modernisasi sistem politik di negara itu. Oleh karena itu, upaya para elite partai untuk berkonsentrasi membangun sistem internal partai yang solid, profesional, dan responsif, terhadap masalah rakyat, seharusnya menjadi prioritas, ketimbang manuver-manuver yang sifatnya power-oriented dalam masa transisi ini. Saat ini, sulit menghilangkan kesan bahwa para elite politik kita tampaknya lebih tertarik untuk melakukan manuver- manuver yang berorientasi pada kekuasaan ketimbang konsentrasi pada penguatan kapasitas internal partai. Manuver-manuver demikian jelas akan sangat membutuhkan waktu dan konsentrasi yang cukup dari para elite partai. Jadi bagaimana mungkin para elite partai dapat berkonsentrasi pada pembangunan kapasitas partai kalau fokus mereka lebih tertuju pada manuver-manuver eksternal. Seperti halnya strategi, konsentrasi harus dipahami sebagai satu prinsip kunci dalam politik.
Daya lekat atau konherensi dari setiap organisasi politik sangat menentukan tingkat institusionalisasi politik. Semakin kuat ikatan dan daya lekat suatu organisasi politik maka semakin tinggi tingkat institusionalisasinya. Perpecahan organisasi berarti rendahnya tingkat institusionalisasi. Dalam hal ini konsensus mengenai masalah-masalah substantif organisasi yang berkaitan dengan fungsi, platform, dan prosedur penyelesaian konflik organisasi mutlak diperlukan untuk memperkuat kohesi organisasi dan mewujudkan apa yang lazim disebut esprit de corps.
Intelektual Perancis David Rapoport meyakini bahwa membangun kesatuan suatu organisasi politik tidak jauh berbeda dengan membangun suatu kekuatan militer yang kuat dan bersatu. Disiplin dan koordinasi adalah dua hal yang sama pentingnya dalam perang maupun politik. Sejarah juga mencatat bangsa-bangsa dengan sistem hukum, politik, dan birokrasi yang baik, diiringi dengan angkatan perang yang hebat seperti Sparta, Roma, dan Inggris. Masalah membangun kohesivitas partai saat ini masih menjadi kendala utama dalam era multipartai di Indonesia. Partai-partai baru masih dihadapkan dengan konflik internal partai yang sangat menguras energi mereka, sehingga fungsi partai tidak berjalan secara normal

B.    Institusi Pemerintahan
Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

1.      Masalah-masalah Institusi Pemerintahan
Salah satu permasalahan pokok yang mendasar yang dihadapi Indonesia pada saat ini adalah masalah implementasi akuntabilitas. Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.
Perkembangan penyelenggaraan negara di Indonesia memperlihatkan upaya sungguh-sungguh untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang berorientasi pada pemenuhan amanah dari seluruh masyarakat. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN menguraikan mengenai azas akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara dan pengelolaan pemerintahan. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang responsif, bebas KKN serta berkinerja, kondisi akuntabilitas merupakan sufficient condition atau kondisi yang harus ada .
Wujud lain dari implementasi akuntabilitas di Indonesia adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara khususnya di pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa instansi pemerintah diwajibkan menyusun rencana kerja dan anggaran yang didasarkan pada prestasi kerja yang akan di capainya. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara anggaran pemerintah (APBN dan APBD) dengan kinerja yang akan dicapainya berdasarkan perencanaan strategi tersebut.
Namun demikian, impelementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan tanpa hambatan. Beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam penerapan konsep akuntabilitas di Indonesia antara lain adalah; rendahnya standar kesejahteraan pegawai sehingga memicu pegawai untuk melakukan penyimpangan guna mencukupi kebutuhannya dengan melanggar azas akuntabilitas, faktor budaya seperti kebiasaan mendahulukan kepentingan keluarga dan kerabat dibanding pelayanan kepada masyarakat, dan lemahnya sistem hukum yang mengakibatkan kurangnya dukungan terhadap faktor punishment jika sewaktu-waktu terjadi penyimpangan khususnya di bidang keuangan dan administrasi.
Semua hambatan tersebut pada dasarnya akan dapat terpecahkan jika pemerintah dan seluruh komponennya memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya implementasi akuntabilitas disamping faktor moral hazard individu pelaksana untuk menjalankan kepemerintahan secara amanah.
2.      Strategi institusionalisasi
(Penyelenggara Negara )
a.     Membersihkan penyelenggara negara dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme dengan memberikan sanksi seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan masyarakat, dan mengembangkan etika dan moral.
b.     Meningkatkan kualitas aparatur negara dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta memberlakukan sistem karier berdasarkan prestasi dengan prinsip memberikan penghargaan dan sanksi.
c.      Melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan pejabat negara dan pejabat pemerintah sebelum dan sesudah memangku jabatan dengan tetap menjunjung tinggi hak hukum dan hak asasi manusia.
d.     Meningkatkan fungsi dan keprofesionalan birokrasi dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya dalam mengelola kekayaan negara secara transparan, bersih, dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan.
e.     Meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri dan Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menciptakan aparatur yang bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, bertanggung jawab, profesional, produktif dan efisien.
f.       Memantapkan netralitas politik pegawai negeri dengan menghargai hak-hak politiknya.

Penyelenggara negara mempunyai peran yang sangat menentukan terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan. Untuk itu, langkah-langkah yang dilakukan adalah
1.     Melalui pelaksanaan program pengawasan aparatur negara.
2.     program penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan,
3.     program peningkatan kualitas pelayanan publik, serta
4.     program peningkatan kapasitas sumber daya manusia.



1.     Program Pengawasan Aparatur Negara
Tujuan program ini adalah mewujudkan aparatur negara yang bersih, berwibawa, dan bebas KKN.
Sasaran program ini adalah memberantas KKN di lingkungan aparatur negara yang didukung dengan penegakan peraturan, peningkatan kinerja, dan profesionalisme aparatur negara baik di pusat maupun daerah.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah;
1.    mengembangkan sistem informasi pengawasan secara transparan dan terakunkan (accountable);
2.         meningkatkan kualitas informasi sistem pengawasan yang dipadukan dengan kebijakan peningkatan kualitas perencanaan, pemantauan, pengendalian, dan pelaporan;
3.         menegakkan etika dan moral di lingkungan aparat audit internal pemerintah dan menindaklanjuti hasil pengawasan internal secara transparan serta penegakan aturan disiplin PNS;
4.         melaksanakan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme secara konsisten;
5.         menyusun dan mengembangkan sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) sebagai tolok ukur keberhasilan dan/atau kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah;
6.         mengefisienkan struktur kelembagaan yang terkait di bidang aparat pemeriksa.

2.    Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan
Tujuan program ini adalah menyempurnakan kembali sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan penyelenggaraan negara dalam pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan yang difokuskan pada pelaksanaan desentralisasi yang didukung oleh pengelolaan dokumen/arsip yang lebih efektif dan efisien.
Sasaran program ini adalah terciptanya struktur kelembagaan yang efektif dan efisien, dan terciptanya sistem ketatalaksanaan yang terkait dengan penataan kewenangan dan hubungan kerja antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah;
1.         menata kembali struktur organisasi departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) dan pemerintah daerah yang efektif dan efisien;
2.         menyempurnakan struktur jabatan bagi aparatur negara di pusat dan daerah melalui penetapan jabatan negeri, dan jabatan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
3.         menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan kewenangan dan hubungan kerja antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota, untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah;
4.         menata sistem perencanaan, sistem penganggaran dan pembiayaan, sistem pengawasan, pemantauan dan pelaporan;
5.         menata sistem kearsipan nasional;
6.         menyempurnakan administrasi kebijakan pembangunan, terutama yang mendukung upaya pemulihan ekonomi.

3.    Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik di berbagai bidang pemerintahan sesuai dengan sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada unit-unit kerja pemerintah pusat dan daerah.
Sasaran program ini adalah terselenggaranya pelayanan publik yang lebih cepat, tepat, murah, dan memuaskan pada unit-unit kerja di lingkungan pemerintah pusat dan daerah.

Kegiatan pokok yang dilakukan adalah;
1.    melibatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik tertentu;
2.    menyusun standar dan melaksanakan pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, memuaskan, transparan, dan tidak diskriminatif;
3.    mengembangkan konsep indeks tingkat kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur terhadap optimalisasi pelayanan publik oleh aparatur negara kepada masyarakat;
4.    melakukan upaya deregulasi dan debirokratisasi khususnya kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi untuk menghilangkan berbagai hambatan terhadap kelancaran mekanisme pasar secara sehat dan optimal.

4.    Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas, profesionalisme, dan keterampilan aparatur negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara lebih optimal.
Sarana program ini adalah terwujudnya aparatur negara yang profesional dan berkualitas dalam melaksanakan tugas pemerintah umum dan pembangunan.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah;
1.     merestrukturisasi dan realokasi PNS sesuai dengan kapasitas yang dimiliki sebagai konsekuensi dilakukannya penghapusan, pembentukan, penggabungan, dan perubahan-perubahan instansi pemerintah dan dalam rangka mendukung pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999;
2.     menyempurnakan sistem rekrutmen PNS yang lebih transparan, obyektif, dan kompetitif;
3.     merumuskan kompetensi jabatan PNS, sistem penilaian kinerja pegawai, serta sistem pembinaan atau pengembangan kualitas karier pegawai yang obyektif dan transparan yang memungkinkan dilakukannya sistem mutasi dan rotasi PNS antarinstansi ataupun antardaerah;
4.     menyempurnakan sistem pendidikan dan pelatihan jabatan (diklat) PNS yang tepat dan selektif sesuai dengan kebutuhan kerja di lapangan;
5.     memperbaiki komposisi jumlah dan mutu PNS yang didukung oleh sistem administrasi kepegawaian nasional yang efisien dan efektif;
6.     menyusun sistem penggajian PNS yang adil dan transparan, baik selama menjadi PNS maupun setelah pensiun, yang dapat memenuhi kebutuhan manusia untuk hidup layak;
7.     menyusun dan melaksanakan sistem pemberian penghargaan dan sanksi kepada PNS secara konsisten;
8.     memantapkan netralitas PNS dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan.



















BAB III
PENUTUP


A.   KESIMPULAN
Institusi adalah norma atau aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. Institusi politik wujud daripada proses-proses sosial terutamanya yang coba mengatur susunan masyarakat sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

B.   SARAN
Institusi politik merupakan wujud dari proses – proses social yang coba mengatur susunan masyarakat. Sebagai masyarakat yang berada di bawah naungannya, kita tidak boleh di atur sesuai kekuasaan yang di miliki institusi itu..
















DAFTAR PUSTAKA



No comments:

Post a Comment